KISAH hidupku dimulai dari sini, dari jalan setapak menuju keramaian lalu lalangnya kendaraan. Kehidupanku tergantung dengan orang - orang disekelilingku, hanya Panas, dingin dan sebuah gitar yang bisa menemani hari - hariku. Keras lembutnya kehidupan telah kurasakan
dengan penuh keceriaan. Ibuku seorang tenaga kerja di luar negeri, ayahku kabur karena jadi buronan polisi, kini tinggal aku bersama adik kecilku di kota yang hiruk pikuk.
Usiaku memang belum matang untuk mencari sesuap nasi, tapi apa daya, ini adalah takdir hidupku sendiri. Inilah kehidupanku, kehidupan menjadi seorang anak jalanan. Yang tidur beralaskan koran dan dikelilingi tumpukkan kotak - kotak, terkadang tidur di depan toko orang.
Aku rela gak bersekolah, dan fokus mencari nafkah untuk makan aku dan adikku. Aku selalu mendapat diskriminasi dari anak jalanan dewasa, pukulan mereka kerap kurasakan jika aku tidak memberi uang kepada mereka. Setiap ada penertiban gepeng, aku selalu berlarian bersama anak jalanan lainnya sambil menahan air mata mencoba menghindar dari petugas.
Hidup di jalanan memang keras.Aapa yang aku lihat dan aku jalani ini bukanlah jalan hidup yang aku inginkan dan belum pantas aku terima di usiaku yang masih belia ini. Diinjak, dicaci, dimaki, dibotaki, dan lalu aku dilepas begitu saja sama geng hijau.
Di lain waktu, kejadian itu terjadi lagi menimpaku dan kawan-kawanku . Dimana keadilan itu? Dan apakah mereka buta hukum, walaupun aku gak bersekolah, tapi aku tahu bahwa di Undang -Undang Dasar Negara ini bahwa anak-anak dilindungi negara, termasuk aku dan anak - anak jalanan lainnya. Tapi kenapa para petugas penertiban melakukan hal yang berbeda dengan apa yang tertera di undang-undang negara ini? Aku mau ngadu ke Lembaga Perlindungan Anak, tapi karena keterbatasan jarak dan pengetahuanku, niat itu aku urungkan.
Dalam hati kuberdoa, "Biar tuhan yang maha adil membalasnya!"
Buat apa orang-orang mengadakan pesta pemilu dengan mengeluarkan uang jutaan rupiah agar bisa menarik simpati masyarakat. Buat apa ada pergantian Walikota, Gubernur dan Presiden, tapi kehidupan kami, anak jalanan tidak berubah bahkan cenderung tidak diperhatikan.Janji-janji manis saat kampanye tak terwujud ketika sudah berhasil duduk di kursi empuk jabatan.
Bagiku, tidak dianggap sama orang-orang kaya tidaklah menjadi masalah, aku ikhlas menghadapi cobaan hidup ini. Aku harus kuat, dengan gitar kecil usangku. Hidup tetap berjalan, aku tidak boleh gampang meyerah mencari nafkah, dari lampu merah satu ke lampu merah lainnya.
Dari rumah makan pinggir jalan hingga ke rumah makan lainnya. Aku tetap bisa senyum sambil memetikkan gitar dan bernyanyi sambil menahan perihnya hidup yang kujalani ini. Bagi anak-anak seusiaku, banyak yang tidak tahu tentang arti kehidupan dan kerasnya hidup.
Kebanyakan mereka hanya bisa main dirumah dengan mainan kesayangannya, meminta uang jajan, mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, dan punya kesempatan yang lebih baik dari kami. Mereka bisa belajar di bangku sekolah, sedangkan kami hanyalah pengalaman yang menjadi guru kami.
Pagi hari, biasanya sarapan pagi bersama keluarga, sedangkan aku dan adikku harus bergegas pergi dari tempat kami tidur, karena takut disiram sama yang punya tempat. Mencari tempat berteduh lainnya yang lebih aman. Kadang kami terpaksa mengemis sekadar untuk menganjal perut yang sejak malamnya belum terisi.
Siangnya aku pergi lagi ke lampu merah untuk mengamen untuk makan siang kami, syukur-syukur dapat rezeki hingga makan malam. Tak banyak yang bisa aku hasilkan dari usaha mengamenku.
Memang jalanan bukanlah dunia kami, dunia anak. Tapi siapa yang harus kami tuntut? kenapa kami ada di jalanan? kami hanyalah anak-anak yang baru belajar hidup. Yang kami dapatkan hanya panas dari teriknya matahari dan penat yang selalu menggantung ditubuh kurusku. Kami butuh hangatnya pelukan seorang ibu, dan teman-teman yang mengisi hari-hariku.
Andai aku pandai baca tulis, akan aku kirimi surat setiap pekan untuk bapak Walikota, Gubernur, dan Presiden tentang kehidupan kami sehari - hari. Tapi apa daya, dari kecil aku tidak pernah menikmati bangku sekolah, mengenakan seragam putih merah dan belajar bersama teman-teman.
Kami juga punya cita-cita, tapi bagaimana mau tercapai jika pemerintah hanya memperhatikan sebagian masyarakat saja? Andai kami diberi kesempatan untuk bersekolah hingga lulus kuliah. Dan berhasil menggapai cita-cita, jadi Insinyur, Dokter, Pilot, Pengusaha, Tentara, Polisi,
Walikota, Gubernur, mungkin juga jadi Presiden. Aku akan berusaha menjadi orang yang berguna bagi siapa saja tanpa pandang bulu dan jika aku seorang Presiden akan aku sembuhkan orang-orang di negara ini yang sedang dilanda penyakit haus akan harta dan jabatan
Surat Dari Pinggiran Jalan
Diposting oleh
Rahadian Vindy
, Jumat, 06 Mei 2011 at 09.47, in
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar